top of page

Hasil Pencarian

150 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perubahan Iklim Terungkap: Nasib Penurunan Glasier dan Mekarnya Bunga Antartika yang Saling Terkait

    Antartika & Perubahan Iklim (Penurunan Glasier & Mekarnya Bunga) Dalam menghadapi iklim yang semakin memanas, dua penjuru bumi yang tampaknya berbeda – Amerika Serikat Bagian Barat dan Antartika – menjadi saksi transformasi lingkungan yang dramatis. Hilangnya glasier di Amerika Serikat Bagian Barat, yang dikatalogkan dengan cermat oleh para peneliti dari Portland State University (PSU), sangat kontras dengan pertumbuhan bunga (tanaman berbunga) yang belum pernah terjadi sebelumnya di Antartika, sebuah fenomena yang ditemukan oleh para ilmuwan di Universitas Insubria di Como, Italia. Artikel terpadu ini menggali narasi-narasi yang saling berhubungan, menyoroti konsekuensi perubahan iklim terhadap lingkungan yang berbeda namun saling terkait secara rumit. Inventarisasi Komprehensif dan Menggali Keanekaragaman Bunga Dipimpin oleh profesor geologi emeritus Andrew Fountain dan asisten peneliti Bryce Glenn, tim PSU melakukan inventarisasi menyeluruh terhadap gletser dan padang salju abadi di seluruh benua bagian barat AS. Studi cermat mereka, yang berlangsung dari tahun 2013 hingga 2020, memanfaatkan kombinasi citra udara dan satelit, yang pada akhirnya memanfaatkan kombinasi citra udara dan satelit. mengungkap realitas mengejutkan dari hilangnya gletser. Pada saat yang sama, penelitian perintis dari Universitas Insubria di Como, Italia, mengungkap vitalitas flora Antartika yang mengejutkan. Bertentangan dengan kepercayaan umum, benua ini menjadi rumah bagi dua spesies tanaman berbunga, rumput rambut Antartika dan lumut mutiara Antartika, yang telah beradaptasi untuk tumbuh subur dalam kondisi ekstrem di habitat es mereka. Penelitian terbaru mengungkap lebih lanjut lonjakan tingkat pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perubahan Iklim: Benang merah Percepatan pertumbuhan rumput rambut Antartika dan lumut mutiara Antartika mencerminkan penurunan gletser yang cepat di Amerika Serikat Bagian Barat, yang memiliki kesamaan – perubahan iklim. Ketika suhu naik dan es menyusut, tumbuhan dan gletser merespons perubahan lingkungan. Temperatur yang lebih hangat dan musim tanam yang panjang menyediakan lahan subur bagi tumbuh suburnya flora sekaligus mengikis hamparan es gletser. Transformasi ini, meskipun terjadi di ekosistem yang sangat berbeda, menggarisbawahi dampak perubahan iklim yang luas, bahkan di lingkungan yang paling terpencil dan tidak ramah lingkungan. Dampak yang Melampaui Batas Negara Konsekuensi dari perubahan-perubahan yang saling berhubungan ini berdampak jauh melampaui wilayah masing-masing. Menipisnya gletser di Amerika Serikat Bagian Barat mengganggu keseimbangan regulasi aliran sungai, menyebabkan daerah aliran sungai semakin rentan terhadap kekeringan dan aliran sampah. Selain itu, hilangnya gletser berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut dalam skala global. Sementara itu, pertumbuhan tanaman di Antartika menandakan pergeseran ekologi yang lebih luas dan potensi dampaknya terhadap sistem iklim global yang lebih komprehensif. Ajakan Bertindak Kolaboratif Pekerjaan para peneliti PSU, bekerja sama dengan rekan-rekan mereka di University of Insubria, merupakan perwujudan upaya kolektif untuk mengungkap interaksi yang rumit antara perubahan iklim dan lanskap yang terus berkembang di Amerika Serikat Bagian Barat dan Antartika. Bersama-sama, hal-hal tersebut memperjelas kebutuhan mendesak akan tindakan global untuk mengatasi tantangan iklim yang lebih luas yang mendasari tren yang mengkhawatirkan ini. Kebangkitan kembali bunga-bunga di Antartika dan hilangnya gletser di Amerika Serikat Bagian Barat merupakan pengingat yang menyedihkan akan dunia yang berubah dengan cepat, dan mendesak kita untuk bertindak tegas sebelum kerusakan permanen terjadi pada ekosistem paling rentan di planet kita. Peterson Projects and Solutions Indonesia adalah mercusuar harapan dan keahlian dalam menghadapi tantangan lingkungan hidup yang kritis ini. Sebagai konsultan keberlanjutan, kami memandu dunia usaha dan masyarakat menuju masa depan yang lebih berketahanan dan sadar lingkungan. Pendekatan terpadu kami, yang diasah melalui pengalaman bertahun-tahun, secara unik memposisikan kami untuk mengatasi masalah-masalah yang saling berhubungan seperti penurunan gletser dan berkembangnya flora di Antartika serta masalah-masalah mendesak lainnya. Jika Anda mencari solusi inovatif dan berkelanjutan yang disesuaikan dengan kebutuhan Anda, kami mengundang Anda untuk mengambil langkah pertama menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan. Hubungi kami hari ini, dan mari kita memulai perjalanan penting ini bersama-sama. Tindakan Anda saat ini dapat membentuk dunia yang lebih berkelanjutan untuk generasi mendatang.

  • Peran Plastik dalam Pertanian Modern!

    Plastik dalam Pertanian Plastik telah menjadi alat yang sangat diperlukan dalam pertanian modern, dengan lebih dari 12 juta ton digunakan setiap tahunnya. Namun, karena bahan serbaguna ini meresap ke dalam setiap aspek proses pertanian, hal ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai dampaknya terhadap lingkungan. Sebuah studi baru-baru ini yang dipimpin oleh Thilo Hofmann dan tim internasionalnya di Universitas Wina menyelidiki manfaat dan risiko penggunaan plastik di bidang pertanian, serta menawarkan wawasan tentang bagaimana kita dapat memastikan penggunaan plastik secara berkelanjutan. Peran Plastik dalam Berbagai Sisi: Plastik telah tertanam kuat dalam sistem produksi pangan kita dan memainkan peran yang beragam, mulai dari melindungi tanaman dengan penjepit hingga melindungi tanaman dengan jaring. Mulsa film, yang menyumbang sekitar setengah dari seluruh plastik pertanian, patut mendapat perhatian khusus. Mereka memerangi gulma dan hama, menjaga kelembaban tanah, mengatur suhu, dan meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga mengurangi jejak ekologis pertanian. Mulsa film sebelumnya memerlukan tambahan 3,9 juta hektar lahan pertanian untuk mempertahankan tingkat produksi saat ini di Tiongkok. Sisi Gelap Plastik: Namun, meluasnya penggunaan plastik di bidang pertanian mempunyai kelemahan. Hal ini menimbulkan risiko terhadap kesuburan tanah, mengurangi hasil panen, dan meningkatkan kekhawatiran tentang potensi masuknya bahan tambahan beracun ke dalam pasokan makanan kita. Plastik konvensional bertahan di lingkungan dan meninggalkan residu yang terakumulasi di tanah. Penelanan partikel plastik kecil oleh tanaman kini menjadi perhatian, dan mengisyaratkan potensi masuknya plastik ke dalam rantai makanan kita. Transisi yang Terhitung: Mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh plastik di bidang pertanian memerlukan pendekatan strategis yang menekankan penggunaan plastik secara bijaksana, pengumpulan pasca penggunaan yang efisien, dan pengembangan teknik daur ulang yang inovatif. “Jika plastik tetap berada di lingkungan, desainnya harus memastikan biodegradasi menyeluruh. Selain itu, bahan tambahan plastik yang beracun harus diganti dengan alternatif yang lebih aman,” Thilo Hofmann menggarisbawahi. Bahan berbasis bio menjanjikan sebagai alternatif; namun, penerapannya secara luas harus dilakukan dengan hati-hati. Peralihan yang terburu-buru ke bahan-bahan tersebut tanpa pemahaman yang komprehensif tentang siklus hidupnya dapat secara tidak sengaja memberikan tekanan tambahan pada ekosistem dan jaringan pangan kita. Jalan ke Depan: Langkah-langkah yang diusulkan ini sejalan dengan inisiatif global seperti Perjanjian Plastik PBB (UNEA 5.2), yang mencerminkan upaya kolektif untuk mendorong penggunaan plastik yang lebih berkelanjutan di bidang pertanian. Meskipun penghentian total penggunaan plastik masih belum memungkinkan, penerapan strategi alternatif dengan dampak lingkungan minimal menawarkan arah yang menjanjikan. Melalui pemantauan wajib, kemajuan teknologi, dan inisiatif pendidikan, kita berpotensi mengurangi ketergantungan kita pada plastik dan memitigasi dampak buruknya terhadap lingkungan. Kesimpulan: Peran plastik dalam pertanian modern bagaikan pedang bermata dua, menawarkan manfaat sekaligus menimbulkan risiko lingkungan. Studi yang dipimpin oleh Thilo Hofmann dan timnya menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang penuh perhitungan dan seimbang. Dengan menerapkan praktik-praktik inovatif, mendukung penggunaan plastik yang bertanggung jawab, dan memupuk budaya keberlanjutan, kita dapat membuka jalan menuju hidup berdampingan yang lebih harmonis antara plastik dan pertanian.

  • Menghadapi Fluktuasi Indeks Harga Pangan FAO: Implikasinya terhadap Keberlanjutan

    Ketidakstabilan Harga Pangan FAO Dalam lanskap harga pangan global yang dinamis, Indeks Harga Pangan FAO (CPI) terjadi pada bulan Agustus, yang menunjukkan penurunan sebesar 2,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini, yang disebabkan oleh berbagai faktor, berdampak signifikan terhadap sektor pertanian dan upaya keberlanjutan di seluruh dunia. Memahami Perubahannya Secara spesifik, penurunan CPI terutama dipengaruhi oleh penurunan indeks harga produk susu, minyak nabati, daging, dan sereal. Khususnya, indeks harga gula mengalami sedikit kenaikan, yang menandakan adanya interaksi yang kompleks antara berbagai faktor di pasar. Tren Penting Indeks Harga Gandum juga mengalami penurunan sebesar 0,7%, terutama didorong oleh penurunan harga gandum dunia sebesar 3,8%. Tren ini berasal dari penjualan musiman oleh eksportir besar di Belahan Bumi Utara, ditambah dengan rekor panen di Brasil dan Amerika Serikat. Sementara itu, Indeks Harga Minyak Nabati mengalami penurunan sebesar 3,1%, mencerminkan penurunan harga minyak dasar dan berkurangnya pembelian minyak sawit. Harga minyak bunga matahari juga mengalami penurunan sebesar 8% karena meningkatnya penawaran dari eksportir. Produk Susu dan Daging Harga susu mengalami penurunan sebesar 4%, terutama berdampak pada harga susu bubuk utuh dan susu bubuk skim. Penurunan ini didorong oleh lonjakan pasokan musiman dari Oseania dan penurunan impor di Tiongkok. Indeks harga daging mengalami penurunan sebesar 3%, dengan harga daging domba yang paling terkena dampaknya karena meningkatnya pasokan ekspor. Harga daging babi dan unggas menurun karena lemahnya permintaan impor dan meningkatnya pasokan. Peningkatan Harga Gula Indeks harga gula menunjukkan kenaikan sebesar 1,3% yang mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap penurunan produksi global akibat fenomena El Niño. Kurangnya curah hujan di India dan kekeringan di Thailand akan berdampak pada produksi gula di tahun mendatang. Tren Harga Pangan Menuju Praktik Berkelanjutan Indeks Harga Pangan FAO dan hubungan keberlanjutan sangat penting untuk pengambilan keputusan industri pertanian dan pangan yang terinformasi. Memahami tren harga memungkinkan perusahaan mengalokasikan sumber daya secara efisien, membangun rantai pasokan yang tangguh, dan mengurangi limbah makanan. Hal ini juga memandu penerapan praktik pertanian berkelanjutan, mempengaruhi perilaku konsumen menuju pilihan yang lebih sadar lingkungan, dan mendukung prinsip-prinsip pengadaan yang etis dan perdagangan yang adil. Selain itu, pengetahuan ini membantu dunia usaha untuk secara proaktif mengatasi tantangan terkait iklim, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap sistem pangan global yang lebih berkelanjutan dan berketahanan. Peterson dan Misi Berkelanjutan Anda Mengatasi fluktuasi harga ini sangat penting agar bisnis dapat menyelaraskan diri dengan praktik berkelanjutan. Sebagai perusahaan jasa konsultan keberlanjutan terkemuka, Peterson menawarkan solusi yang disesuaikan untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh pasar makanan yang terus berkembang. Dengan keahlian kami, kami dapat membantu Anda dalam mengembangkan strategi yang tidak hanya beradaptasi dengan perubahan pasar namun juga berkontribusi terhadap misi berkelanjutan organisasi Anda. Di dunia yang mengutamakan keberlanjutan, bermitra dengan Peterson memberikan keuntungan strategis. Tim ahli kami berdedikasi untuk membimbing Anda menuju praktik berkelanjutan yang bermanfaat bagi bisnis Anda dan berkontribusi terhadap masa depan yang lebih sadar lingkungan. Bersama-sama, kita dapat menavigasi kompleksitas pasar pangan dan mendorong organisasi Anda menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Contact us hari ini untuk memulai perjalanan transformatif ini.

  • G20 Menyetujui Penggunaan Energi Terbarukan 3x Lipat tapi Menunda Tujuan Utama Perubahan Iklim

    Pendahuluan Dalam perkembangan yang signifikan pada KTT G20, para pemimpin dunia telah sepakat untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat pada tahun 2030 sambil mengakui perlunya pengurangan bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, KTT tersebut gagal menetapkan tujuan-tujuan iklim yang ambisius, sehingga menimbulkan perpecahan di antara negara-negara besar di dunia. Artikel ini membedah hasil dan implikasi utama dari komitmen iklim KTT G20. Peningkatan Kapasitas Energi Terbarukan Tiga Kali Lipat! Inti dari diskusi iklim di KTT G20 adalah usulan negara-negara Barat untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030. Meskipun usulan ini mendapat persetujuan dari banyak negara anggota, termasuk beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, usulan ini mendapat tentangan keras dari Rusia. , Tiongkok, Arab Saudi, dan India selama negosiasi pra-KTT. Terlepas dari perpecahan ini, deklarasi akhir yang diadopsi oleh para pemimpin G20 mewajibkan negara-negara anggota untuk “mengejar dan mendorong upaya melipatgandakan kapasitas energi terbarukan secara global, sejalan dengan keadaan nasional pada tahun 2030.” Komitmen ini merupakan langkah signifikan menuju pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil dan peralihan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Tantangan dalam Mengurangi Tenaga Batubara secara bertahap Pengakuan G20 terhadap perlunya penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap merupakan perkembangan positif dalam aksi iklim. Namun, deklarasi tersebut memberikan ruang bagi masing-masing negara untuk menentukan kecepatan transisi ini, karena deklarasi tersebut menyatakan bahwa “keadaan nasional” akan diperhitungkan dalam proses penghentian bertahap. Fleksibilitas ini dapat menyebabkan tingkat komitmen yang berbeda-beda dari negara-negara anggota, dimana negara-negara yang kaya akan cadangan batubara berpotensi menolak perubahan yang cepat. Kurangnya Target Pengurangan Emisi GRK yang Ambisius Salah satu kelalaian penting dalam deklarasi KTT G20 adalah tidak adanya target penurunan emisi gas rumah kaca yang spesifik. Meskipun beberapa negara Barat telah menganjurkan pengurangan emisi sebesar 60% pada tahun 2035, usulan ini menghadapi penolakan dari negara-negara utama seperti Rusia, Tiongkok, Arab Saudi, dan India. Akibatnya, deklarasi tersebut tidak memuat tujuan pengurangan emisi yang konkrit. Sebaliknya, perjanjian ini menegaskan kembali komitmen untuk mencapai emisi gas rumah kaca global atau netralitas karbon “pada atau sekitar pertengahan abad ini.” Kurangnya jadwal yang jelas dan target yang spesifik menimbulkan kekhawatiran akan pentingnya mengatasi perubahan iklim. Implikasi Global G20, yang terdiri dari negara-negara yang bertanggung jawab atas lebih dari 80% emisi global, memainkan peran penting dalam upaya melawan perubahan iklim. Hasil dari perundingan iklim akan dicermati dengan cermat seiring dengan antisipasi dunia terhadap KTT iklim PBB COP28 mendatang di Uni Emirat Arab. Ketidakmampuan untuk mencapai konsensus mengenai tujuan-tujuan penting iklim menyoroti tantangan kerja sama global dalam mengatasi perubahan iklim dan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas negosiasi iklim di masa depan. Mendukung Negara Berkembang Deklarasi G20 juga mengakui pentingnya menyediakan pembiayaan berbiaya rendah dan berkelanjutan kepada negara-negara berkembang untuk memfasilitasi transisi mereka menuju penurunan emisi. Pengakuan ini menggarisbawahi perlunya solidaritas global dalam membantu negara-negara kurang berkembang secara ekonomi dalam memitigasi dampak perubahan iklim dan mengadopsi teknologi energi yang lebih ramah lingkungan. Kesimpulan Kesepakatan KTT G20 untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dan mengurangi penggunaan tenaga batubara merupakan sebuah langkah maju dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Namun, tidak adanya target pengurangan emisi yang spesifik dan fleksibilitas yang diberikan kepada negara-negara anggota dalam menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap meningkatkan kekhawatiran mengenai kecepatan dan efektivitas tindakan iklim ini. Dunia akan mencermati bagaimana keputusan-keputusan G20 mempengaruhi arah kebijakan iklim global menjelang COP28 dan seterusnya.

  • AIPF 2023 Menyatukan Sektor Swasta dan Publik di Kawasan Indo-Pasifik ASEAN

    source: Media Center KTT ke-43 ASEAN/Dhoni Setiawan AIPF 2023 — ASEAN-Indo Pacific Forum (AIPF) 2023 di Hotel bergengsi Senayan pada tanggal 5 dan 6 September menandai tonggak sejarah penting dalam melengkapi agenda KTT ASEAN (KTT ASEAN) 2023. Acara ini, yang diselenggarakan sejalan dengan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang diadopsi oleh negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2019, bertujuan untuk memperkuat kerangka kerja regional yang inklusif, mendorong upaya kolaboratif, memperkuat kemitraan yang saling menguntungkan, dan meraih peluang di kawasan Indo-Pasifik. wilayah Pasifik. AIPF 2023 membahas tiga bidang penting yang menjadi kepentingan bersama: Diskusi Infrastruktur Ramah Lingkungan dan Rantai Pasokan yang Tangguh berpusat pada pengembangan infrastruktur dan rantai pasokan berkelanjutan untuk menghadapi tantangan lingkungan. Forum tersebut menyoroti perlunya pendekatan inovatif untuk menjamin umur panjang dan efektivitas sistem tersebut. Penekanan Transformasi Digital dan Ekonomi Kreatif diberikan pada potensi transformatif teknologi digital dan dampaknya terhadap pengembangan ekonomi kreatif. Sesi ini mengeksplorasi cara memanfaatkan teknologi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Pembiayaan Berkelanjutan dan Inovatif Para peserta AIPF terlibat dalam diskusi mengenai model-model pembiayaan yang berkelanjutan dan inovatif, dengan menyadari pentingnya strategi investasi yang mendukung pertumbuhan jangka panjang sambil menerapkan pendekatan-pendekatan baru yang berpikiran maju. Kolaborasi dan Inklusivitas AIPF berfungsi sebagai platform inklusif, menyatukan para pemimpin sektor publik dan swasta dari negara-negara anggota ASEAN dan organisasi mitra. Forum dinamis ini mendorong dialog konstruktif, mengidentifikasi potensi proyek yang nyata, dan mendorong kolaborasi di seluruh kawasan Indo-Pasifik. Pembicara dan Peserta Terkemuka Para pembicara terkemuka, termasuk para kepala negara dan pemimpin dari berbagai industri, memperkaya forum dengan wawasan dan keahlian mereka. Acara ini menampilkan diskusi panel dan acara bincang-bincang, yang menawarkan platform untuk pertukaran pemikiran. Selain itu, tokoh-tokoh industri utama dan pemimpin perusahaan berperan penting dalam pameran proyek dan memfasilitasi sesi perjodohan bisnis, sehingga mendorong peluang kemitraan dan kolaborasi yang bermakna. Peserta Penting AIPF menyampaikan undangan kepada tokoh-tokoh berpengaruh baik dari sektor publik maupun swasta serta perwakilan dari lembaga keuangan internasional (IFI) dan organisasi global. Di antara peserta terkemuka adalah tokoh-tokoh dari lembaga terkemuka seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Forum Ekonomi Dunia, Dewan Penasihat Bisnis ASEAN (ASEAN-BAC), Maybank, Airbus, Aspen Medical, Forest Carbon Microsoft, Dewan Bisnis Kanada, Bank Investasi Eropa, Institut Urusan Publik & Lingkungan, BP, Bank Investasi Infrastruktur Asia, Badan Perdagangan dan Pembangunan AS, Loca Laos, Amazon, dan Fairatmos. Kesimpulan Forum ASEAN-Indo Pasifik 2023 merupakan bukti komitmen negara-negara anggota ASEAN dan mitranya terhadap kemajuan dan kolaborasi regional. AIPF 2023 telah menjadi preseden bagi dialog inklusif dan tindakan kooperatif di kawasan Indo-Pasifik dengan mengatasi isu-isu kritis dan menyediakan platform untuk diskusi yang bermakna. Hasil dari forum ini diharapkan dapat berkontribusi secara signifikan dalam memajukan masa depan yang lebih berketahanan, inovatif, dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.

  • Maroko Bergulat dengan Kehancuran Pasca Gempa Mematikan

    Gempa Maroko: Maroko sedang terguncang akibat gempa bumi dahsyat, yang paling mematikan dalam enam dekade terakhir, yang telah merenggut nyawa lebih dari 2.900 orang dan 5.500 orang terluka. Bencana tersebut terjadi pada Jumat (8/9/23) malam, mengguncang kota bersejarah Marrakesh dan melanda Pegunungan High Atlas, meninggalkan jejak kehancuran. Artikel ini menyoroti tantangan yang dihadapi para penyintas, upaya penyelamatan yang berani, dan dukungan internasional yang mengalir deras. Upaya Penyelamatan dan Kisah yang Menyayat Hati: Di desa Amizmiz, dekat pusat gempa, tim penyelamat tanpa kenal lelah menyaring puing-puing, bahkan menggunakan tangan kosong dengan harapan menemukan korban yang selamat. Sayangnya, bagi beberapa keluarga, upaya ini terlambat. Mohamed Azaw, seorang warga yang menderita, menceritakan momen-momen panik ketika dia bergegas mengevakuasi anak-anaknya, karena tidak mampu memberikan bantuan yang sama kepada tetangganya. Penduduk desa di Asni, 40 km selatan Marrakesh, harus menghadapi malam di luar rumah karena hampir semua rumah mereka rusak. Kelangkaan pangan menambah kesengsaraan mereka, karena atap yang runtuh membuat dapur tidak dapat diakses. Pencarian korban selamat sedang dilakukan, dan para tetangga bersatu untuk menyelamatkan mereka yang terjebak di bawah puing-puing. Desa Tansghart di wilayah Ansi terkena dampak paling parah. Rumah-rumah yang dulunya indah kini terkena dampak gempa bumi, dan menjadi pengingat akan dampak bencana yang menimpa komunitas yang erat ini. Abdellatif Ait Bella, seorang buruh, terbaring terluka dan tidak bisa bergerak, masa depan keluarganya tergantung pada keseimbangan. Solidaritas Internasional: Getaran gempa bumi bergema hingga ke Spanyol bagian selatan, yang merupakan bukti intensitas gempa tersebut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa lebih dari 300.000 orang di Marrakesh dan sekitarnya terkena dampaknya. Menanggapi situasi yang mengerikan ini, Turki, yang masih dalam masa pemulihan dari gempa bumi dahsyat yang terjadi pada awal tahun ini, dan Aljazair, meskipun ada ketegangan diplomatik, telah mengulurkan tangan mereka sebagai solidaritas, menawarkan dukungan dan bantuan kemanusiaan. Pemulihan Maroko: Saat negara ini memperingati tiga hari berkabung nasional, bendera dikibarkan setengah tiang untuk menghormati nyawa yang hilang. Angkatan bersenjata Maroko mengerahkan tim penyelamat untuk menyediakan pasokan penting ke daerah yang terkena dampak. Namun, jalan menuju pemulihan tentu akan panjang dan sulit. Kedalaman gempa yang dangkal dan keberadaan bangunan-bangunan batu bersejarah telah memperburuk kehancuran, mengingatkan kita pada kejadian yang terjadi di Turki beberapa bulan sebelumnya. Kesimpulan: Ketika Maroko bergulat dengan dampak gempa bumi dahsyat ini, negara ini tetap tangguh, memperoleh kekuatan dari rakyatnya dan curahan dukungan internasional. Gambaran kehancuran, kesedihan, dan keteguhan hati merupakan pengingat akan kerapuhan hidup dan pentingnya persatuan di saat krisis. Jalan menuju pemulihan akan penuh dengan tantangan, namun dengan tekad yang teguh, Maroko akan bangkit dari puing-puing dan membangun kembali dengan lebih penting dari sebelumnya.

  • Dilema Emisi Militer: Menjaga Lingkungan dalam Bingkai Keamanan Nasional

    Para ilmuwan dan kelompok lingkungan sedang meningkatkan tekanan pada PBB untuk memaksa pasukan militer di seluruh dunia untuk mengungkapkan semua emisi mereka dan mengakhiri pengecualian yang telah memungkinkan sebagian polusi iklim mereka tidak tercatat. Militer, yang merupakan salah satu konsumen bahan bakar terbesar di dunia, menyumbang 5,5% dari emisi gas rumah kaca global. Namun, mereka tidak terikat oleh perjanjian iklim internasional untuk melaporkan atau mengurangi emisi karbon mereka, dan data yang diterbitkan oleh beberapa militer dianggap tidak akurat atau tidak lengkap. Ini karena emisi militer di luar negeri, mulai dari pesawat terbang hingga kapal laut hingga latihan militer, dikecualikan dari Protokol Kyoto 1997 tentang pengurangan gas rumah kaca dan dikecualikan lagi dari kesepakatan Paris 2015 dengan alasan bahwa data tentang penggunaan energi oleh pasukan militer dapat mengancam keamanan nasional. Sekarang, kelompok lingkungan dan akademisi sedang mendorong pelaporan emisi militer yang lebih komprehensif dan transparan dengan menggunakan penelitian, kampanye surat, dan konferensi dalam upaya lobi mereka. Beberapa kelompok seperti Tipping Point North South dan The Conflict and Environment Observatory, bersama dengan akademisi dari universitas-universitas Inggris seperti Lancaster, Oxford, dan Queen Mary, meminta agar semua emisi militer dimasukkan dalam perhitungan karbon global yang komprehensif. Namun, saat ini belum ada tanda-tanda respons konkret terhadap upaya lobi ini dalam tahun ini. PBB menyatakan bahwa tidak ada rencana konkret untuk mengubah pedoman pelaporan emisi militer, tetapi isu ini dapat dibahas pada pertemuan masa depan, termasuk di KTT28 di Dubai. Beberapa negara seperti Selandia Baru, Inggris, dan Jerman sedang menjelajahi cara untuk melaporkan emisi militer mereka dengan lebih akurat. Meskipun demikian, ada tanda-tanda bahwa beberapa militer bersiap untuk perubahan dalam persyaratan pelaporan mereka dalam beberapa tahun mendatang, sementara yang lain sedang berupaya mengurangi dampak iklim mereka. NATO, aliansi keamanan Barat dengan 31 negara anggota, telah menciptakan metodologi untuk anggotanya melaporkan emisi militer mereka. Penggunaan drone juga telah membantu mengurangi emisi, karena teknologi ini lebih efisien dalam penggunaan energi dibandingkan pesawat berawak. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa fokus pada emisi militer dapat mengalihkan perhatian pemerintah dari masalah keamanan regional dan memperlambat diskusi dalam jangka pendek. Beberapa militer berpendapat bahwa mempublikasikan rincian tentang penggunaan minyak mereka akan membuka informasi tentang operasi mereka di luar negeri. Sementara itu, emisi militer global akan tetap sulit dipahami, dan beberapa ahli berpendapat bahwa ini memberikan keuntungan tidak adil kepada militer dalam hal tanggung jawab terhadap perubahan iklim. sumber: https://www.reuters.com/business/environment/worlds-war-greenhouse-gas-emissions-has-military-blind-spot-2023-07-10/

  • Meningkatnya Harga Tiket: Dampak Transformasi Menuju Penerbangan Berkelanjutan (Dekarbonisasi)

    Industri penerbangan menghadapi tantangan besar dalam upaya dekarbonisasi, dengan rencana untuk membebankan biaya transformasi ini pada penumpang yang berpotensi mengakibatkan kenaikan harga tiket. Setelah bertahan dari pandemi Covid-19, sektor ini menghadapi ancaman baru, yakni perubahan ke arah bahan bakar dan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Penumpang mungkin harus membayar tambahan biaya yang signifikan, karena sekitar $5 triliun investasi diperlukan untuk mencapai tujuan netral karbon pada tahun 2050. Untuk mencapai sasaran ini, industri perlu mengatasi beberapa tantangan serius. Keberadaan bahan bakar berkelanjutan memiliki harga setidaknya dua kali lipat dari bahan bakar jet biasa. Selain itu, teknologi baru seperti pesawat bertenaga listrik atau hidrogen masih memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dikembangkan secara komersial. Untuk saat ini, bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) diperkirakan akan menjadi solusi utama. Pada umumnya, SAF adalah jenis bahan bakar penerbangan yang dapat diperbaharui dan memenuhi standar keberlanjutan. Bahan bakar ini dapat dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk limbah hutan dan pertanian, minyak bekas, dan hidrogen ramah lingkungan. SAF dianggap berkelanjutan jika proses perolehannya serta produksi tidak merugikan sektor lain. Dengan kata lain, keseluruhan rangkaian produksi tidak boleh berdampak negatif pada pertanian, pasokan pangan, air, lahan, atau lingkungan secara keseluruhan. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan bahwa SAF memiliki potensi untuk menyumbang sekitar 65% dari pengurangan emisi yang diperlukan oleh sektor penerbangan untuk mencapai emisi net zero pada tahun 2050. Di tengah permintaan yang terus tumbuh, produksi SAF mencapai sekitar 300 juta liter (240.000 ton) pada tahun 2022, menurut IATA. Berkat peningkatan investasi, kebijakan dukungan, serta kerja sama lintas negara, proyek-proyek produksi SAF semakin meningkat. Keterlibatan bersama ini menjadi kunci untuk mencapai target 10% penggunaan SAF dalam penerbangan pada tahun 2030. Transformasi ke arah dekarbonisasi dalam industri penerbangan memerlukan keterlibatan bersama lintas negara. Pada tahun 2022, 184 negara yang merupakan anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sepakat mengadopsi Tujuan Aspirasi Global Jangka Panjang (LTAG) untuk mencapai netral karbon di industri penerbangan pada tahun 2050. LTAG ini melibatkan penggunaan teknologi pesawat baru dan inovatif, efisiensi operasional penerbangan, serta peningkatan produksi dan penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Pada tahun 2023, Uni Eropa juga meluncurkan perjanjian ReFuelEU Aviation, yang mewajibkan lebih banyak pemasok bahan bakar untuk mencampurkan SAF dengan bahan bakar konvensional di wilayah tersebut. Selain langkah-langkah internasional, peran penting juga diemban oleh pemerintah negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu merancang dan melaksanakan kebijakan yang mendorong perkembangan, produksi, dan penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Dalam konteks ini, insentif dari sisi penawaran, seperti dukungan finansial atau fiskal, bisa menjadi alat kebijakan yang efektif dalam mendorong pertumbuhan organik pasar SAF. Contohnya, Amerika Serikat mengalokasikan dana sekitar USD 3,3 miliar untuk mendorong produksi SAF melalui skema kredit pajak dan program hibah berdasarkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi. Di Asia, beberapa negara juga telah mulai beralih ke industri penerbangan berkelanjutan dengan menggunakan SAF melalui kerja sama antara pemerintah, proyek, dan perjanjian kemitraan. Selain dukungan pemerintah, partisipasi dari kalangan peneliti, bisnis, masyarakat sipil, serta stakeholder terkait lainnya juga menjadi kunci untuk mewujudkan perkembangan signifikan dalam industri penerbangan yang berkelanjutan. Konsekuensinya, harga tiket penerbangan kemungkinan akan meningkat secara permanen. Bahkan, biaya dekarbonisasi telah mulai tercermin dalam harga tiket di Uni Eropa, dan langkah-langkah serupa di negara lain akan mengakibatkan kenaikan harga tiket yang lebih umum. Penumpang perlu memahami bahwa pembayaran ekstra ini bukan hanya dampak sementara, melainkan refleksi dari investasi jangka panjang dalam teknologi dan bahan bakar berkelanjutan. Selain mengatasi biaya, industri penerbangan juga menghadapi tantangan dalam memproduksi cukup bahan bakar berkelanjutan untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Jumlah Sustainable Aviation Fuel yang tersedia saat ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh maskapai di dunia. Dalam beberapa tahun mendatang, jika teknologi dan pasokan bahan bakar berkelanjutan tidak berkembang cukup cepat, maskapai mungkin terpaksa membatasi penerbangan ke tujuan tertentu atau menghadapi kenaikan biaya operasional yang signifikan. Di tengah tantangan ini, langkah-langkah menuju penerbangan berkarbon rendah adalah suatu kenyataan. Walaupun biaya meningkat, tujuan untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri penerbangan tetap menjadi prioritas. Penumpang perlu memahami bahwa kenaikan harga tiket merupakan bagian dari perubahan menuju penerbangan yang lebih berkelanjutan, dan dukungan terhadap transformasi ini dapat membantu menciptakan masa depan yang lebih hijau bagi penerbangan global.

  • Hadirnya Pembahasan Pajak Karbon di ASEAN Taxation Forum

    Pajak Karbon ASEAN Taxation Forum — Pada tanggal 1-3 Agustus lalu, forum penting yang disebut "Asean Forum on Taxation" digelar dengan tujuan utama untuk meningkatkan kerja sama dan menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih baik di kawasan ASEAN. Forum ini menjadi ajang bagi negara-negara anggota untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman seputar isu pajak dan kebijakan ekonomi di kawasan. Dengan kepemimpinan dari Kementerian Keuangan Indonesia, yang diwakili oleh Febrio Kacaribu, forum ini menjadi wadah penting untuk merumuskan langkah-langkah strategis dalam meningkatkan iklim investasi, mengoptimalkan sumber daya domestik, meningkatkan basis pajak, mengedepankan keadilan pajak, dan memperkuat stabilitas ekonomi di kawasan ASEAN. Tema yang diusung oleh Kepemimpinan ASEAN Indonesia adalah menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang tangguh dan inklusif. Pertemuan ini membahas berbagai isu perpajakan yang relevan, di antaranya adalah penguatan jaringan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) di kawasan ASEAN. Selain itu, fokus juga diberikan pada upaya meningkatkan pertukaran informasi perpajakan sesuai standar internasional dan kemudahan layanan administrasi perpajakan bagi investor melalui penggunaan sistem online. Salah satu tantangan terkini yang dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia adalah dampak dari digitalisasi ekonomi dan penggunaan aset kripto. Di dalam forum ini, negara-negara anggota juga membahas dampak perpajakan yang muncul dari fenomena tersebut. Isu penting lainnya adalah pajak atas karbon, yang kini menjadi perhatian global untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Negara-negara di dalam forum juga mendiskusikan bagaimana menghadapi tantangan ini. Tidak hanya berfokus pada isu-isu umum, dalam forum ini juga terdapat sub-forum khusus yang membahas tentang kebijakan cukai. Sub-Forum on Excise Taxation (SF-ET) menjadi wadah bagi negara-negara anggota untuk berbagi pengalaman dan pelajaran terkait perpajakan khususnya pada produk seperti rokok dan minuman beralkohol. Negara-negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand saling berbagi pengalaman dalam mengimplementasikan pajak untuk minuman berpemanis di negara mereka. Pentingnya adaptasi terhadap perubahan tren ekonomi dan teknologi menjadi sorotan dalam forum ini. Terutama dalam hal produk-produk baru seperti rokok elektrik, Indonesia dan Filipina berbagi pengalaman mereka dalam mengatur dan mengawasi produk ini. Di Indonesia, sedang dalam proses menuju penerapan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan. Melalui Asean Forum on Taxation, diharapkan kerja sama yang lebih erat di antara negara-negara ASEAN dalam hal perpajakan akan membawa dampak positif bagi stabilitas ekonomi kawasan dan memberikan langkah-langkah yang lebih kokoh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Carbon Tax Discourse Echoes at ASEAN Taxation Forum Carbon Tax ASEAN Taxation Forum —From August 1-3, the "ASEAN Forum on Taxation" convened, with the primary objective of enhancing cooperation and creating a better economic environment within the ASEAN region. This forum served as a platform for member nations to discuss and exchange experiences regarding tax and monetary policies in the region. Under the leadership of Indonesia's Ministry of Finance, represented by Febrio Kacaribu, this forum provided a significant avenue to formulate strategic steps to improve the investment climate, optimize domestic resources, enhance tax bases, prioritize tax fairness, and reinforce economic stability within ASEAN. The theme Indonesia's ASEAN leadership advocated was centred on making ASEAN a resilient and inclusive financial growth centre. The meeting tackled various relevant taxation issues, including strengthening the Double Taxation Avoidance Agreements (DTAA) network across the ASEAN region. Additionally, there was a focus on boosting tax-related information exchange under international standards and facilitating tax administration services for investors through online systems. One of the current challenges countries face is the impact of digitalization and the use of crypto assets. In this forum, member countries also discussed the taxation implications stemming from these phenomena. Another significant issue discussed was carbon taxation, which has garnered global attention in efforts to mitigate climate change impacts. Member countries discussed strategies to address this challenge. The forum didn't solely concentrate on general matters; it also featured specialized sub-forums delving into excise tax policies. The Sub-Forum on Excise Taxation (SF-ET) provided a platform for member nations to share experiences and lessons related to taxation, particularly concerning products like tobacco and alcoholic beverages. Countries such as Malaysia, Brunei Darussalam, the Philippines, and Thailand exchanged experiences implementing taxes on sweetened beverages in their respective nations. The importance of adapting to economic and technological trends took centre stage in this forum, especially concerning new products like e-cigarettes. Indonesia and the Philippines shared their experiences in regulating and overseeing such products. In Indonesia, efforts are underway towards implementing taxes on packaged sweetened beverages. Through the ASEAN Forum on Taxation, closer cooperation among ASEAN nations in taxation is hoped to positively impact regional economic stability, providing robust measures to support sustainable economic growth.

  • Dagang Karbon Indonesia Dimulai September 2023!

    Dagang Karbon Indonesia — Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman alam yang melimpah memiliki peran penting dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Perdagangan karbon menjadi salah satu instrumen yang akan digunakan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mencapai net zero emisi pada tahun 2060. Menko Marves, Luhut B. Panjaitan memastikan bahwa pada bulan September 2023, pemerintah Indonesia akan memulai pelaksanaan mekanisme dagang karbon Indonesia yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rapat internal yang dipimpin oleh Presiden Jokowi membahas berbagai aspek penting terkait perdagangan karbon yang menjadi langkah strategis dalam melawan krisis iklim. 1. Pengaturan Mekanisme Dagang karbon Indonesia Diawasi OJK Pentingnya keberlanjutan lingkungan dan perlunya mengurangi emisi gas rumah kaca telah mendorong pemerintah Indonesia untuk merumuskan mekanisme perdagangan karbon yang efektif. Dalam rapat internal, Presiden Jokowi menegaskan pentingnya mekanisme ini diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peran OJK akan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam perdagangan karbon sehingga dapat menjadi model yang dapat diandalkan bagi pasar perdagangan karbon global. 2. Penataan Perizinan untuk Wilayah Konsesi Rapat tersebut juga membahas tentang penataan perizinan untuk wilayah konsesi yang berkaitan dengan perdagangan karbon. Penataan ini menjadi landasan bagi pelaku usaha dan perusahaan yang ingin terlibat dalam perdagangan karbon, sehingga berbagai kegiatan dapat dijalankan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya penataan perizinan yang jelas, diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan potensi besar dalam penyimpanan karbon pada sektor migas dan mengembangkan Carbon Capture and Storage (CCS) sebagai langkah progresif untuk mengurangi emisi di sektor industri. 3. Hanya Entitas Indonesia yang Diizinkan, Tidak Boleh Dijual ke Bursa Luar Negeri Presiden Jokowi menekankan bahwa perdagangan karbon hanya akan melibatkan entitas dari Indonesia dan tidak diperbolehkan dijual ke bursa luar negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga dan memastikan bahwa manfaat dari perdagangan karbon berada di dalam negeri dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui investasi di sektor energi terbarukan dan upaya mengurangi emisi karbon. Peran Pemerintah dalam Penetapan Nilai Ekonomi Karbon Sebagai langkah awal, pemerintah telah menyetujui Peraturan Peresiden mengenai Nilai Ekonomi Karbon dan peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon di bidang pembangkit listrik. Langkah ini adalah bagian dari upaya percepatan penyusunan "rencana harga karbon" di sektor pertanian, industri, dan transportasi dengan standar internasional. Penetapan nilai ekonomi karbon akan menjadi dasar bagi perdagangan karbon yang efektif dan berkelanjutan. Peran Peterson Indonesia dalam Mendukung Sertifikasi Karbon Dalam menghadapi pelaksanaan mekanisme perdagangan karbon yang akan dimulai pada bulan September 2023, Peterson Indonesia berkomitmen untuk memberikan dukungan dan layanan pendampingan dalam proses sertifikasi konsesi lahan penghasil karbon. Karena, sebelum melakukan perdagangan karbon setiap entitas wajib melakukan sertifikasi konsesi lahan penghasil karbon. Kami, Peterson Indonesia menyediakan layanan yang berorientasi pada keberlanjutan dan membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam mematuhi regulasi perdagangan karbon yang berlaku. Kesimpulan Rapat internal yang dipimpin oleh Presiden Jokowi telah menyoroti pentingnya perdagangan karbon sebagai salah satu strategi utama dalam menghadapi perubahan iklim. Pengaturan mekanisme perdagangan karbon yang diawasi oleh OJK, penataan perizinan untuk wilayah konsesi, dan kebijakan hanya melibatkan entitas Indonesia adalah langkah-langkah penting dalam menciptakan perdagangan karbon yang berkelanjutan. Dengan penerapan mekanisme perdagangan karbon ini, diharapkan Indonesia dapat berkontribusi secara signifikan dalam mencapai net zero emisi pada tahun 2060 dan menjadi pionir dalam upaya global untuk melawan krisis iklim.

  • Finalisasi Pemutakhiran Metodologi REDD: 2 Poin Pencapaian Verra

    Verra, organisasi terkemuka yang bekerja untuk konservasi lingkungan dan mitigasi perubahan iklim, telah mencapai dua tonggak penting dalam mengembangkan metodologi REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) terbaru. Rancangan publikasi ini mencakup pedoman dan standar untuk mengukur, melaporkan, dan memverifikasi pengurangan emisi. Pencapaian 1: Draf Metodologi REDD Terbaru Tonggak sejarah pertama meliputi peluncuran draf metodologi REDD yang telah diperbarui, yang mencakup revisi-revisi penting untuk meningkatkan pengukuran dan verifikasi pengurangan emisi. Pembaruan penting adalah sebagai berikut: Pengecualian Lahan Basah dari kebijakan REDD: Lahan basah tidak lagi memenuhi syarat sebagai proyek REDD. Keputusan ini sejalan dengan pencegahan degradasi hutan dan bertujuan untuk fokus hanya pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi. Pembaruan Validitas Dasar Proyek yang Dipercepat: Proyek akan diizinkan untuk memperbarui ke periode validitas dasar berikutnya lebih cepat daripada yang disyaratkan oleh standar VCS v.4.4 (Standar Karbon Terverifikasi). Fleksibilitas ini bertujuan untuk mendukung upaya berkelanjutan dalam mengatasi deforestasi dan perubahan iklim. Transisi dari VM0009 ke Metodologi yang Diperbarui: Ketentuan khusus telah diperkenalkan untuk proyek yang beralih dari metodologi VM0009 ke versi yang baru diperbarui. Ini memfasilitasi peralihan yang lancar dan efisien, mendorong proyek yang ada untuk mengadopsi pedoman yang lebih baik. Tujuan utama pembaruan metodologi REDD adalah untuk mengurangi emisi GRK dan mencegah degradasi hutan. Menetapkan standar dan pedoman yang jelas akan membantu pemangku kepentingan dalam merencanakan proyek REDD baru atau mentransisikan proyek yang sudah ada secara efektif. Verra bertujuan untuk menyelesaikan versi terkonsolidasi dari metodologi REDD yang diperbarui pada Q4 pertama tahun 2023. Pencapaian 2: Dimulainya Proses Pendataan Kegiatan Deforestasi Pencapaian kedua berkaitan dengan dimulainya proses pengumpulan data untuk kegiatan deforestasi. Verra telah memutuskan untuk mengadopsi crowdsourcing sebagai sarana utama untuk mengumpulkan data deforestasi dari berbagai daerah. Sebelumnya, data dari sumber lain digunakan untuk memperkirakan deforestasi di masa mendatang. Dengan pembaruan ini, Verra memastikan bahwa kredit konservasi hutan diterbitkan berdasarkan VCS Verra, dengan memasukkan data yang lebih akurat dan terkini. Tujuan khusus dari proses pengumpulan data ini adalah: Menetapkan Pengukuran Baseline Deforestasi: Sebuah baseline akan dikonfirmasi dengan mengumpulkan data tentang kegiatan deforestasi. Ini berfungsi sebagai titik referensi untuk mengukur "kemajuan" atau pengurangan laju deforestasi di masa depan. Memahami Status Deforestasi Saat Ini: Data yang dikumpulkan akan memberikan wawasan tentang keadaan deforestasi saat ini di area tertentu, memungkinkan pengambilan keputusan yang terinformasi dan upaya konservasi yang ditargetkan. Menetapkan Titik Referensi untuk Pengukuran di Masa Mendatang: Data yang dikumpulkan akan berfungsi sebagai titik referensi untuk mengukur kemajuan dalam mengurangi deforestasi di masa depan. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah untuk melindungi hutan dari deforestasi, yang sangat penting dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagai bagian dari rencana mereka, Verra bertujuan untuk melibatkan lebih dari 40 wilayah untuk berpartisipasi di bawah VCS guna memperkuat upaya global menuju REDD dan pengelolaan hutan lestari. Kesimpulannya, dua tonggak penting yang dicapai oleh Verra menandai kemajuan yang signifikan dalam kemajuan teknologi REDD. Metodologi yang diperbarui dan adopsi pengumpulan data deforestasi crowdsourced menjanjikan strategi yang lebih efektif dan akurat untuk melestarikan hutan, memitigasi perubahan iklim, dan melindungi planet ini untuk generasi mendatang. Dengan kemajuan ini, stakeholders dan pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang lebih tepat untuk memerangi deforestasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca secara efektif.

  • Angka Kemiskinan di Indonesia Tidak Pernah Berubah?

    Angka Kemiskinan Indonesia — Penduduk miskin adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya di bawah garis daya beli. Garis daya beli diukur berdasarkan harga yang dibutuhkan untuk membeli kebutuhan pokok pangan setara dengan 2100 kilokalori per orang per hari, tidak termasuk kebutuhan pokok bukan makanan. Oleh karena itu, Bank Dunia memiliki standar khusus untuk mengukur tingkat kemiskinan global dengan menggunakan alat ukur yang disebut Purchasing Power Parity (PPP). PPP adalah ukuran harga barang tertentu di berbagai negara dan digunakan untuk membandingkan daya beli absolut mata uang negara. PPP ditentukan dengan membandingkan harga pembelian sekumpulan barang dan jasa di setiap negara. Informasi ini kemudian digunakan untuk mengonversi PPP masing-masing negara menjadi unit moneter standar seperti dolar AS. Konversi ini membuat perbandingan PPP terlihat lebih relevan. PPP 2011 mengungkapkan $1,9 sebagai garis kemiskinan ekstrim. Menurut pengukuran ini, kemiskinan ekstrim di Indonesia menurun dari 19% pada tahun 2002 menjadi 1,5% pada tahun 2022. Demikian pula, garis kemiskinan berpenghasilan menengah ke bawah sebesar $3,2 mengurangi tingkat kemiskinan berpenghasilan menengah ke bawah di Indonesia dari 61% pada tahun 2022 menjadi 16%. pada tahun 2022. Namun pada September 2022, garis kemiskinan internasional diperbarui dari $1,90 menjadi $2,15 per orang setiap hari. Pembaruan ini diperlukan untuk memperhitungkan perubahan harga di seluruh dunia. Peningkatan garis kemiskinan mencerminkan biaya makanan, pakaian, dan tempat berlindung yang lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah antara tahun 2011 dan 2017 dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada dasarnya, daya beli sebesar $2,15 pada tahun 2017 setara dengan apa yang dapat dibeli oleh $1,90 pada tahun 2011. Dengan standar baru ini, 33 juta orang kelas menengah ke bawah di Asia telah diklasifikasikan menjadi miskin. Indonesia dan China mengalami penurunan tertinggi di kelas menengah ke bawah. Namun, menurut Bank Dunia, nilai sebenarnya dari garis kemiskinan internasional hampir tidak berubah. Berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2017, 40% penduduk Indonesia dapat digolongkan miskin. Perubahan ini juga mengakibatkan 33 juta orang Asia yang sebelumnya dikategorikan sebagai kelas menengah ke bawah jatuh ke kelas miskin. Apakah deklarasi penurunan 1,5% tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia pada tahun 2022 (mengacu pada PPP 2011) hanya merupakan pencapaian semu? Sri Mulyani menyarankan agar Indonesia menetapkan garis kemiskinan nasional karena Bank Dunia melalui PPP-nya tidak secara akurat mencerminkan kondisi kehidupan Indonesia dengan pengeluaran harian yang rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur garis kemiskinan nasional berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar, mengingat kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan bukan makanan daripada hanya mengandalkan ukuran pengeluaran. Menurut data Pathways Towards Economic Security: Indonesia Poverty Assessment, telah terjadi penurunan yang signifikan pada garis kemiskinan ekstrem dan menengah ke bawah berdasarkan PPP (Purchasing Power Parity). Namun jika dilihat dari NPL (Garis Kemiskinan Nasional), tren statistik terlihat relatif stabil, dengan penurunan yang minimal dan tidak signifikan. Oleh karena itu, standar PPP yang ditetapkan Bank Dunia tampaknya kurang relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia tampaknya tidak akan berkurang jika terus dibandingkan dengan standar PPP terbaru (2017). Dengan demikian, penggunaan NPL yang dianjurkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) akan terasa lebih realistis bagi Indonesia karena diukur berdasarkan kondisi ekonomi yang relevan dengan realitas masyarakat Indonesia.

bottom of page