top of page

Proyeksi Keberlanjutan 2025: Revolusi Hijau atau Krisis yang Mendalam?


Wind Turbin

Tahun 2025 hadir membawa serangkaian peluang dan tantangan besar bagi upaya keberlanjutan global. Dengan berbagai agenda yang akan mengubah arah kebijakan iklim, tahun ini menjadi momen penting dalam perjalanan kita menghadapi krisis lingkungan. Upaya kolaboratif dari berbagai negara, sektor industri, dan masyarakat global menjadi kunci dalam menentukan arah keberlanjutan di masa depan.


Menguatkan Komitmen di Tengah Ketidakpastian

Pada Februari 2025, negara-negara akan menyerahkan pembaruan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) mereka, di bawah kerangka Perjanjian Paris. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa dunia tetap berada di jalur menuju pembatasan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius. Namun, tantangannya tidak hanya pada komitmen tertulis, melainkan juga bagaimana setiap negara mampu merealisasikan target ambisius tersebut.

Berbagai inisiatif di tingkat nasional telah diperkenalkan, seperti kebijakan transisi energi di negara berkembang, program penanaman kembali hutan yang rusak, dan pengembangan teknologi energi terbarukan. Meski demikian, celah pendanaan untuk proyek-proyek keberlanjutan ini tetap menjadi hambatan signifikan, terutama bagi negara-negara berkembang yang menghadapi dampak perubahan iklim paling berat.


Teknologi dan Data: Pendukung Transformasi Hijau

Teknologi semakin menjadi sekutu utama dalam keberlanjutan. Pada Mei 2025, peluncuran MicroCarb, satelit Eropa pertama yang didedikasikan untuk mengukur emisi karbon dioksida, diharapkan memberikan data yang lebih rinci dan akurat untuk mendukung upaya mitigasi global. Data dari MicroCarb akan membantu negara-negara memetakan emisi mereka dan mengidentifikasi sektor-sektor yang memerlukan intervensi segera.

Selain itu, teknologi berbasis AI dan Internet of Things (IoT) terus dikembangkan untuk memantau deforestasi, mendeteksi polusi, hingga mengoptimalkan penggunaan energi di berbagai sektor. Di sektor pertanian, misalnya, teknologi pintar kini memungkinkan pengelolaan lahan secara lebih efisien, mengurangi limbah, dan meningkatkan produktivitas tanpa merusak ekosistem sekitar.

Di sisi lain, tantangan dalam adopsi teknologi tetap ada, terutama terkait aksesibilitas bagi negara berkembang dan pelatihan tenaga kerja lokal agar dapat mengoperasikan sistem berbasis teknologi ini secara efektif.


Biodiversitas: Momen Kritis untuk Alam

Keanekaragaman hayati dunia berada di titik kritis, dengan banyak spesies menghadapi risiko kepunahan akibat aktivitas manusia. COP16 bagian kedua di Roma, Italia, akan menjadi panggung penting untuk memperjuangkan mekanisme pendanaan yang adil bagi pelestarian biodiversitas. Agenda ini bertujuan mempercepat realisasi target melindungi 30% daratan dan lautan dunia pada 2030 (30x30).

Untuk mencapai target ini, negara-negara maju diharapkan memberikan kontribusi finansial lebih besar melalui skema seperti Dana Keanekaragaman Hayati Global. Pendekatan ini melibatkan investasi dalam konservasi habitat, pengelolaan kawasan lindung, dan pelibatan komunitas lokal dalam pelestarian lingkungan mereka.


Ekonomi Sirkular: Solusi Krisis Plastik

Masalah plastik tetap menjadi isu utama yang mendesak untuk ditangani pada tahun 2025. Sesi kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee/INC-5) yang berlangsung di Busan, Korea Selatan, pada akhir 2024, menjadi tonggak penting dalam perumusan perjanjian global untuk mengatasi polusi plastik. Perundingan ini bertujuan merancang kebijakan global yang mengedepankan prinsip ekonomi sirkular sebagai solusi jangka panjang.

Ekonomi sirkular bertujuan mengurangi produksi plastik sekali pakai, meningkatkan efisiensi daur ulang, dan mempromosikan penggunaan material alternatif yang ramah lingkungan. Salah satu poin penting dalam perundingan adalah penerapan standar global untuk pengelolaan limbah plastik, tanggung jawab produsen terhadap siklus hidup produk mereka (Extended Producer Responsibility/EPR), serta dukungan finansial dan teknis bagi negara berkembang.

Meski perundingan di Busan menghasilkan kemajuan signifikan, hingga Desember 2024 belum ada konsensus final yang dicapai. Oleh karena itu, sesi tambahan direncanakan pada pertengahan 2025 untuk merampungkan perjanjian ini. Dengan produksi plastik yang diproyeksikan akan berlipat ganda pada 2050, keberhasilan perjanjian ini sangat penting untuk mencegah dampak buruk terhadap ekosistem global.


Adaptasi di Tengah Perubahan Ekstrem

Cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi menjadi pengingat keras akan realitas perubahan iklim. Pada tahun 2025, investasi dalam infrastruktur tahan bencana menjadi fokus utama. Restorasi lahan basah, pembangunan rumah tahan badai, dan pengelolaan air yang lebih baik adalah beberapa langkah konkret yang diambil oleh berbagai negara untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap bencana.

Negara-negara kepulauan kecil, seperti Maladewa dan Tuvalu, berada di garis depan upaya adaptasi ini. Dengan ancaman kenaikan permukaan laut yang terus meningkat, mereka telah meluncurkan proyek ambisius untuk melindungi garis pantai, termasuk pembangunan tembok laut dan pengelolaan mangrove.


Menuju COP30: Tonggak Sejarah Baru

Puncak dari tahun ini adalah COP30 di Belém, Brasil, yang akan menjadi ajang evaluasi sepuluh tahun Perjanjian Paris. COP30 menjadi kesempatan bagi negara-negara untuk menegaskan kembali komitmen mereka terhadap target iklim jangka panjang, sambil memperkenalkan pendekatan baru yang lebih ambisius.

Brasil, sebagai tuan rumah, telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat dalam upaya mengurangi deforestasi Amazon ke tingkat terendah dalam satu dekade. Upaya ini mendapat dukungan luas dari komunitas internasional, dengan harapan bahwa langkah serupa dapat diadopsi oleh negara-negara lain dengan hutan tropis yang luas. COP30 juga akan membahas mekanisme pasar karbon yang lebih transparan dan efektif, guna memastikan bahwa perdagangan karbon dapat memberikan manfaat nyata bagi iklim.


Refleksi dan Harapan Keberlanjutan 2025

Meski tantangan 2025 tampak berat, peluang untuk melangkah maju juga besar. Ini bukan hanya tentang menghindari bencana, tetapi menciptakan masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Keberhasilan kita bergantung pada kolaborasi global, inovasi teknologi, dan kesadaran kolektif akan pentingnya keberlanjutan.

Tahun ini akan mencatatkan sejarah—baik sebagai momen transformasi besar atau sebagai tahun yang terlewatkan. Waktunya bertindak adalah sekarang.


0 komentar

Commentaires


bottom of page