Industri penerbangan menghadapi tantangan besar dalam upaya dekarbonisasi, dengan rencana untuk membebankan biaya transformasi ini pada penumpang yang berpotensi mengakibatkan kenaikan harga tiket. Setelah bertahan dari pandemi Covid-19, sektor ini menghadapi ancaman baru, yakni perubahan ke arah bahan bakar dan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Penumpang mungkin harus membayar tambahan biaya yang signifikan, karena sekitar $5 triliun investasi diperlukan untuk mencapai tujuan netral karbon pada tahun 2050.
Untuk mencapai sasaran ini, industri perlu mengatasi beberapa tantangan serius. Keberadaan bahan bakar berkelanjutan memiliki harga setidaknya dua kali lipat dari bahan bakar jet biasa. Selain itu, teknologi baru seperti pesawat bertenaga listrik atau hidrogen masih memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dikembangkan secara komersial. Untuk saat ini, bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) diperkirakan akan menjadi solusi utama. Pada umumnya, SAF adalah jenis bahan bakar penerbangan yang dapat diperbaharui dan memenuhi standar keberlanjutan. Bahan bakar ini dapat dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk limbah hutan dan pertanian, minyak bekas, dan hidrogen ramah lingkungan. SAF dianggap berkelanjutan jika proses perolehannya serta produksi tidak merugikan sektor lain. Dengan kata lain, keseluruhan rangkaian produksi tidak boleh berdampak negatif pada pertanian, pasokan pangan, air, lahan, atau lingkungan secara keseluruhan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan bahwa SAF memiliki potensi untuk menyumbang sekitar 65% dari pengurangan emisi yang diperlukan oleh sektor penerbangan untuk mencapai emisi net zero pada tahun 2050. Di tengah permintaan yang terus tumbuh, produksi SAF mencapai sekitar 300 juta liter (240.000 ton) pada tahun 2022, menurut IATA.
Berkat peningkatan investasi, kebijakan dukungan, serta kerja sama lintas negara, proyek-proyek produksi SAF semakin meningkat. Keterlibatan bersama ini menjadi kunci untuk mencapai target 10% penggunaan SAF dalam penerbangan pada tahun 2030.
Transformasi ke arah dekarbonisasi dalam industri penerbangan memerlukan keterlibatan bersama lintas negara. Pada tahun 2022, 184 negara yang merupakan anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sepakat mengadopsi Tujuan Aspirasi Global Jangka Panjang (LTAG) untuk mencapai netral karbon di industri penerbangan pada tahun 2050. LTAG ini melibatkan penggunaan teknologi pesawat baru dan inovatif, efisiensi operasional penerbangan, serta peningkatan produksi dan penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Pada tahun 2023, Uni Eropa juga meluncurkan perjanjian ReFuelEU Aviation, yang mewajibkan lebih banyak pemasok bahan bakar untuk mencampurkan SAF dengan bahan bakar konvensional di wilayah tersebut.
Selain langkah-langkah internasional, peran penting juga diemban oleh pemerintah negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu merancang dan melaksanakan kebijakan yang mendorong perkembangan, produksi, dan penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Dalam konteks ini, insentif dari sisi penawaran, seperti dukungan finansial atau fiskal, bisa menjadi alat kebijakan yang efektif dalam mendorong pertumbuhan organik pasar SAF.
Contohnya, Amerika Serikat mengalokasikan dana sekitar USD 3,3 miliar untuk mendorong produksi SAF melalui skema kredit pajak dan program hibah berdasarkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi. Di Asia, beberapa negara juga telah mulai beralih ke industri penerbangan berkelanjutan dengan menggunakan SAF melalui kerja sama antara pemerintah, proyek, dan perjanjian kemitraan. Selain dukungan pemerintah, partisipasi dari kalangan peneliti, bisnis, masyarakat sipil, serta stakeholder terkait lainnya juga menjadi kunci untuk mewujudkan perkembangan signifikan dalam industri penerbangan yang berkelanjutan.
Konsekuensinya, harga tiket penerbangan kemungkinan akan meningkat secara permanen. Bahkan, biaya dekarbonisasi telah mulai tercermin dalam harga tiket di Uni Eropa, dan langkah-langkah serupa di negara lain akan mengakibatkan kenaikan harga tiket yang lebih umum. Penumpang perlu memahami bahwa pembayaran ekstra ini bukan hanya dampak sementara, melainkan refleksi dari investasi jangka panjang dalam teknologi dan bahan bakar berkelanjutan.
Selain mengatasi biaya, industri penerbangan juga menghadapi tantangan dalam memproduksi cukup bahan bakar berkelanjutan untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Jumlah Sustainable Aviation Fuel yang tersedia saat ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh maskapai di dunia. Dalam beberapa tahun mendatang, jika teknologi dan pasokan bahan bakar berkelanjutan tidak berkembang cukup cepat, maskapai mungkin terpaksa membatasi penerbangan ke tujuan tertentu atau menghadapi kenaikan biaya operasional yang signifikan.
Di tengah tantangan ini, langkah-langkah menuju penerbangan berkarbon rendah adalah suatu kenyataan. Walaupun biaya meningkat, tujuan untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri penerbangan tetap menjadi prioritas. Penumpang perlu memahami bahwa kenaikan harga tiket merupakan bagian dari perubahan menuju penerbangan yang lebih berkelanjutan, dan dukungan terhadap transformasi ini dapat membantu menciptakan masa depan yang lebih hijau bagi penerbangan global.
Comments