top of page

Google dan Tantangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Akibat Kecerdasan Buatan (AI)


Google GHG AI


Peningkatan Emisi GRK Google Karena AI

Dalam upayanya untuk mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) ke dalam produk intinya, Google menghadapi tantangan besar terkait peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Sistem AI membutuhkan banyak komputer untuk berfungsi, dan pusat data yang menjalankannya — yang pada dasarnya adalah gudang penuh dengan peralatan komputasi yang kuat — menghabiskan banyak energi untuk memproses data dan mengelola panas yang dihasilkan oleh komputer-komputer tersebut.


Laporan Lingkungan Google 2023: Lonjakan Emisi GRK

Menurut laporan lingkungan tahunan Google, emisi gas rumah kaca perusahaan ini melonjak sebesar 48% sejak 2019. Google menyalahkan pertumbuhan ini terutama pada "peningkatan konsumsi energi pusat data dan emisi rantai pasokan."


Tujuan Ambisius Google untuk Emisi Nol Bersih pada 2030

Sekarang, Google menyebut tujuan mereka untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2030 sebagai "sangat ambisius" dan mengatakan bahwa janji ini kemungkinan akan terpengaruh oleh "ketidakpastian seputar dampak lingkungan masa depan AI, yang kompleks dan sulit diprediksi." Dorongan keberlanjutan oleh perusahaan ini menjadi lebih rumit berkat AI.


Investasi Google dalam AI dan Dampaknya pada Emisi

Google, seperti pesaing teknologi lainnya, telah berinvestasi besar-besaran dalam AI, yang dipandang sebagai revolusi teknologi besar berikutnya yang siap mengubah cara kita hidup, bekerja, dan mengonsumsi informasi. Perusahaan ini telah mengintegrasikan teknologi generatif AI Gemini ke dalam beberapa produk intinya, termasuk Pencarian dan Asisten Google, dan CEO Sundar Pichai menyebut Google sebagai perusahaan "AI-first."


Namun, AI datang dengan kelemahan besar: pusat data yang haus daya yang saat ini Google dan pesaing teknologi besar lainnya menghabiskan puluhan miliar dolar setiap kuartal untuk memperluas guna mendukung ambisi AI mereka.


Konsumsi Energi AI vs Komputasi Tradisional

Menggambarkan betapa lebih menuntutnya model AI dibandingkan dengan sistem komputasi tradisional, Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa sebuah permintaan pencarian Google membutuhkan rata-rata 0,3 watt-jam listrik, sementara permintaan ChatGPT biasanya mengonsumsi sekitar 2,9 watt-jam. Studi Oktober dari peneliti Belanda Alex de Vries memperkirakan bahwa "skenario terburuk" menunjukkan sistem AI Google bisa mengonsumsi sebanyak listrik seperti negara Irlandia setiap tahun, dengan asumsi adopsi penuh AI dalam perangkat keras dan perangkat lunak saat ini.


Tantangan Keberlanjutan dalam Penggunaan AI oleh Google

Google mengakui bahwa mengintegrasikan AI lebih jauh ke dalam produk mereka akan menantang pengurangan emisi karena meningkatnya permintaan energi dari intensitas komputasi AI yang lebih besar. Konsumsi listrik pusat data saat ini tumbuh lebih cepat daripada sumber listrik bebas karbon yang dapat dihasilkan.


Upaya Google untuk Mengatasi Tantangan Emisi

Google mengharapkan total emisi gas rumah kaca mereka terus meningkat sebelum menurun, karena perusahaan mencari investasi dalam sumber energi bersih, seperti angin dan energi panas bumi, untuk menggerakkan pusat data mereka.


Penggunaan AI untuk Memerangi Perubahan Iklim

Google juga bereksperimen dengan cara menggunakan AI untuk melawan perubahan iklim. Sebuah proyek Google DeepMind pada tahun 2019, misalnya, melatih model AI pada prakiraan cuaca dan data turbin angin historis untuk memprediksi ketersediaan tenaga angin, membantu meningkatkan nilai sumber energi terbarukan untuk petani angin. Perusahaan ini juga telah menggunakan AI untuk menyarankan rute yang lebih hemat bahan bakar kepada pengemudi yang menggunakan Google Maps.


"Kami tahu bahwa meningkatkan skala AI dan menggunakannya untuk mempercepat aksi iklim sama pentingnya dengan mengatasi dampak lingkungan yang terkait dengannya," kata Google dalam laporannya.

Comments


bottom of page