top of page

CBAM: Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon Uni Eropa dan Dampaknya pada Perdagangan Global serta Komitmen Iklim Indonesia


CBAM Karbon Eropa


CBAM: Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon di Uni Eropa

Perubahan iklim adalah masalah global yang mendesak dan memerlukan upaya internasional yang terkoordinasi. Uni Eropa (UE) telah mengambil langkah signifikan untuk mengatasi tantangan ini dengan memperkenalkan Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM). Mekanisme ini bertujuan untuk memastikan bahwa emisi karbon yang terkandung dalam barang-barang yang diimpor ke UE dihitung, menyelaraskan harga karbon impor dengan produksi domestik.


Apa itu Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM)?

Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) adalah alat yang dikembangkan oleh Uni Eropa untuk memberikan harga yang adil pada emisi karbon yang dihasilkan selama produksi barang-barang yang intensif karbon yang masuk ke UE. CBAM dirancang untuk mencegah kebocoran karbon, fenomena di mana perusahaan memindahkan produksi intensif karbon mereka ke negara-negara dengan kebijakan iklim yang kurang ketat, sehingga merusak tujuan iklim UE. Dengan memastikan bahwa harga karbon impor setara dengan produk domestik, CBAM mendorong produksi industri yang lebih bersih di seluruh dunia.


Fase Implementasi CBAM:

CBAM akan diimplementasikan dalam dua fase utama:

  1. Fase Transisi (2023 - 2025):

    • Pada 1 Oktober 2023, CBAM memasuki fase transisinya yang akan berlangsung hingga akhir 2025. Selama periode ini, importir barang yang tercakup dalam CBAM diharuskan melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang terkandung dalam impor mereka. Namun, mereka tidak diwajibkan untuk membeli atau menyerahkan sertifikat CBAM.

    • Barang-barang yang awalnya tercakup dalam CBAM meliputi semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, listrik, dan hidrogen. Sektor-sektor ini memiliki risiko kebocoran karbon yang paling tinggi karena proses produksinya yang intensif karbon.

    • Fase transisi ini berfungsi sebagai periode uji coba, memungkinkan para pemangku kepentingan untuk mengumpulkan data berharga tentang emisi yang terkandung, menyempurnakan metodologi CBAM, dan mempersiapkan rezim definitif.

  2. Rezim Definitif (dari 2026):

    • Mulai tahun 2026, rezim definitif CBAM akan sepenuhnya diimplementasikan. Importir diharuskan membeli sertifikat CBAM yang sesuai dengan emisi yang terkandung dalam impor mereka. Harga sertifikat ini akan didasarkan pada harga rata-rata lelang mingguan dari tunjangan Sistem Perdagangan Emisi (ETS) UE.

    • Importir yang dapat membuktikan bahwa harga karbon telah dibayar selama produksi barang yang diimpor akan diizinkan untuk mengurangi jumlah yang sesuai dari kewajiban sertifikat CBAM mereka.

    • Komisi Eropa akan terus meninjau kinerja CBAM dan mengevaluasi kelayakan untuk memasukkan barang dan sektor tambahan dalam cakupannya hingga tahun 2030.


Daftar Periksa (Checklist) untuk Importir UE

Untuk membantu importir menavigasi kompleksitas CBAM, Komisi Eropa telah menyediakan daftar periksa yang menguraikan langkah-langkah penting untuk kepatuhan:

  1. Periksa Barang: Verifikasi apakah barang yang Anda impor tercantum dalam Lampiran I pada Peraturan CBAM dan hubungi Otoritas CBAM Nasional (NCA) di negara Anda.

  2. Daftar: Daftar melalui NCA Anda untuk mengakses Registry Transisi CBAM, di mana Anda akan mengunggah laporan triwulanan tentang emisi yang terkandung dalam barang-barang impor.

  3. Pastikan Kesadaran: Pastikan mitra dagang Anda di luar UE mengetahui panduan terperinci yang diberikan oleh Komisi Eropa tentang barang-barang yang dicakup dan cara menghitung emisi yang terkandung.

  4. Ikuti Pelatihan: Ikuti materi pelatihan umum dan sektoral yang disediakan oleh Komisi Eropa untuk mempersiapkan diri terhadap aturan pelaporan dan alat baru.

  5. Kirim Laporan: Kirim laporan triwulanan CBAM pertama Anda pada 31 Januari 2024, yang mencakup impor Anda pada kuartal keempat tahun 2023, dan tetap terinformasi tentang perkembangan terbaru seiring mendekati fase definitif pada tahun 2026.


Dampak terhadap Perdagangan Global:

Pengenalan CBAM diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap perdagangan global, terutama bagi negara-negara yang mengekspor barang-barang yang intensif karbon ke UE. Negara-negara non-UE dengan kebijakan iklim yang kurang ketat mungkin menghadapi peningkatan biaya untuk mengekspor ke UE, sehingga mendorong mereka untuk mengadopsi metode produksi yang lebih ramah lingkungan. Gerakan global menuju pengurangan emisi karbon ini kemungkinan akan mengubah dinamika perdagangan internasional, dengan keberlanjutan menjadi faktor kunci dalam perjanjian dan kebijakan perdagangan.


Dampak Isu Perubahan Iklim terhadap Perdagangan bagi Indonesia:

Indonesia, sebagai salah satu ekonomi berkembang terbesar di dunia, mungkin menghadapi dampak langsung yang minimal dari CBAM dalam jangka pendek. Namun, kebijakan global seperti CBAM kemungkinan akan mendorong upaya internasional untuk memanfaatkan langkah-langkah non-tarif berdasarkan perubahan iklim, yang mungkin memengaruhi lanskap perdagangan Indonesia dalam jangka panjang. Seiring dengan semakin diprioritaskannya keberlanjutan oleh pasar global, ekspor Indonesia ke UE dapat terpengaruh oleh kebutuhan untuk menyesuaikan dengan standar lingkungan yang ketat.


Komitmen Indonesia untuk Mengurangi Emisi GRK:

Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Implementasi Perjanjian Paris sejalan dengan mandat UUD 1945, khususnya Pasal 28H ayat 1, yang menekankan hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.


Pada tahun 2021, Indonesia meratifikasi Peraturan Presiden Nomor 98 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Peraturan ini bertujuan untuk mencapai target kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dan mengendalikan emisi GRK dalam pembangunan nasional. Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2021 di Glasgow, Presiden Indonesia menegaskan kontribusi cepat Indonesia terhadap Emisi Nol Bersih global dan pentingnya ekonomi karbon yang transparan, inklusif, dan adil.


Kerangka Regulasi untuk Implementasi NEK di Indonesia

Implementasi NEK di bawah Peraturan Presiden No. 98/2021 melibatkan berbagai kementerian, lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Peraturan ini mengatur prosedur untuk perdagangan karbon, penggantian emisi, pungutan karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan mekanisme lain yang didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapasitas sektoral.


Alat Pengendalian Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia:

  • Strategi dan Peta Jalan NDC: Indonesia telah mengembangkan strategi dan peta jalan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dengan tujuan mencapai target NDC pada tahun 2030.

  • SIGN-SMART: Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang melacak emisi GRK.

  • SRN (Sistem Registri Nasional): Sistem Registri Nasional yang mencatat tindakan mitigasi perubahan iklim, tindakan adaptasi, dan pelaksanaan NEK.

  • ProKlim: Program Kampung Iklim yang mempromosikan aksi iklim berbasis komunitas.

  • SISREDD+: Sistem Informasi Safeguard untuk REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).


Target NDC Indonesia untuk Tahun 2030

Indonesia telah menetapkan target untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% - 41% pada tahun 2030 melalui upaya mitigasi kolektif di tingkat nasional dan subnasional. Sektor-sektor utama yang terlibat dalam upaya ini meliputi:

  • Sektor Kehutanan: Dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan sektor provinsi dan swasta.

  • Sektor Energi: Dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perindustrian, dengan keterlibatan dari sektor provinsi dan swasta.

  • Sektor Limbah: Dikelola oleh KLHK, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Kementerian Perindustrian, dengan partisipasi dari pemerintah daerah dan sektor swasta.

  • Sektor Pertanian: Dikelola oleh Kementerian Pertanian, dengan dukungan dari pemerintah daerah dan sektor swasta.

  • Sektor IPPU (Proses Industri dan Penggunaan Produk): Dikelola oleh Kementerian Perindustrian bekerja sama dengan sektor swasta.


Sistem Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK):

Untuk mendukung European Green Deal, Indonesia telah mengembangkan Sistem Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). Sistem ini menyediakan bukti pengurangan emisi oleh perusahaan dan kegiatan, divalidasi melalui proses Monitoring, Reporting, and Verification (MRV), dan dicatat dalam SRN. SPE dapat menjadi dasar untuk label karbon, laporan keberlanjutan, dan akses pembiayaan yang ramah lingkungan.


SRN (Sistem Registri Nasional) dan ONE DATA:

SRN diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 98/2021 untuk memastikan pencatatan yang akurat dari tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pelaksanaan NEK, dan sumber daya perubahan iklim. SRN juga membantu menghindari penghitungan ganda atas tindakan mitigasi dan menyediakan data untuk pertimbangan kebijakan lebih lanjut. Inisiatif ONE DATA memastikan ketersediaan data nasional, sektoral, dan subsektoral mengenai emisi GRK dan ketahanan iklim.


Kesimpulan:

Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) UE merupakan langkah signifikan menuju aksi iklim global dengan memastikan bahwa emisi karbon yang terkandung dalam barang impor diberi harga yang adil. Meskipun dampaknya terhadap Indonesia mungkin minimal pada awalnya, pergeseran global menuju keberlanjutan kemungkinan akan memengaruhi dinamika perdagangan Indonesia dan mendorong komitmen iklim yang lebih kuat. Pendekatan proaktif Indonesia dalam mengurangi emisi GRK, sebagaimana dibuktikan oleh kerangka regulasi dan komitmen internasionalnya, menempatkan negara ini sebagai pemain kunci dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.

Comments


bottom of page